Mursyid sederhana dan
penyayang santri miskin
Purwokerto adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang
masih aktif di pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan
dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah.
Sementara
kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki
ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai
budaya Banyumasan. Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra
seni dan tipologi masyarakatnya.
Bentang
alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta
lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan
pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan
kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).
Dulunya,
kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro
setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh,
bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang
memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.
Keluarga-keluarga
keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari
pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa
dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini.
Salah
satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan
Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh
Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.
Silsilah
dan Pendidikan
Sudah
menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak
melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin.
Suatu saat ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai
tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir. Melihat
hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat
tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa lama
terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad Ash’ad,
artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Peristiwa ini terjadi
di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H.
(1881 M.) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi
mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk
Purwokerto.
Beliau
merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan “Surat Kekancingan”
(semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan
rincian Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali
Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari
sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Sejak
kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari
kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur’an kepada ayahnya, Abdul Malik
diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji
Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.
Selain
itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang
berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja
ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang
ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang
dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Ketika
menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu
agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir,
Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul
Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah
Haram. Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh
(lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas)
meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal
ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah
sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan
kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul
Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai
Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik
Kedung Paruk.
Guru-Guru
Syeikh
Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di
Tanah Suci. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah
at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha’ dan Sayyid Muhammad Syatha’,
keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi
Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.
Sebelum
berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad
Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad’aq (seorang ulama besar
yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib ‘Aththas Abu
Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib
Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.
Sanad
Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah,
Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari
Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).
Selama
bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi
sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi’i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai
ilmu agama termasuk, tafsir dan qira’ah sab’ah. Sempat menerima kehormatan
berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di
dekat Jabal Qubes.
Menurut
beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama
kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam suatu waktu. Di samping belajar di
tanah Suci selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia
asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan
dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah
mutlak.
Perjuangan
Fisik
Adalah
tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh,
kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis,
namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di
sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri
dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga
turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya.
Pada
masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik
senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah
satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada
pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak
terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri
dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang
berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa
menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung
Slamet.
Pada
masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya,
ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju
daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada
para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami
shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan
akhirnya dibebaskan.
Kepribadian
Dalam
hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar,
yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai
berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan
ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan
sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.
Syeikh
Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa
saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya,
terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup.
Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di
Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja,
dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Setiap
hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik
mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang
pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian
Selasanan. Acara ini merupakan forum silaturrahim bagi para pengikut Thoriqah
Naqsyabandiyah Kholidiyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan
tawajjuhan.
Syeikh
Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib,
Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Hasan Mangli (Magelang),
Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih
(Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.
Termasuk
di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik ini
adalah Syeikh Ma’shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil
Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya.
Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog,
Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para
ulama ini merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, namun tetap belajar ilmu
al-Qur’an kepada Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.
Sementara
itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH Abdul
Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thoriqah Naqsabandiyah
Kholidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta),
KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya
(Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Selain,
menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin
umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan,
seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah
rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang
kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Keluarga
Syeikh
Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di
antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti
binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita
terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen.
Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki
bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).
Ada
sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang
pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul
Malik berkata padanya, “Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar
ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa
sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan
menikah.
Istri
kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa
Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu
hari Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, “Pak
Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan
ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.”
Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan
istri ketiga-nya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan
shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh
Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.
Pesan
dan Berpulang
Salah
seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang
disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat.
Tegakkan shalat sebagaimana telah dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat
fardhu pada waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan
kepada para generasi penerus sedini mungkin.
Kedua,
jangan tinggalkan membaca al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari serta
ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur’an di mana pun
berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati
orang-orang yang hafal al-Qur’an dan qari’-qari’ah serta muliakan tempat-tempat
pelestariannya.
Ketiga,
jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan
teladani kehidupan Rasulullah SAW serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan
bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Pada
hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M.
sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada
istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya.
Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun
tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring
dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun
berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas
shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk,
Purwokerto.
Sumber:
http://asispriyanto.blogspot.com/search/label/BIOGRAFI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar