Menjadi Sufi yang Kaya
Oleh: Nasiruddin
SAg
DI tengah era
modern yang diwarnai kehidupan keduniaan (hedonisme) dan materialisme,
masyarakat selalu disibukkan oleh aktivitas yang berkenaan dengan pengumpulan
materi sebanyak mungkin. Ini seiring dengan tuntutan dan kebutuhan hidup yang
makin kompetitif dalam arus globalisasi yang selalu berorientasi bisnis.
Dengan
kata lain, manusia hidup di dunia ingin menjadi kaya dengan menempuh cara apa
pun, halal atau haram. Keinginan untuk kaya bukan lagi keharusan tetapi sudah
menjadi sifat dasar manusia modern.
Dalam
tradisi tasawuf, para sufi menempatkan kemiskinan dan al-faqru(kefakiran)
pada maqam (jenjang) yang tinggi sebagai salah satu syarat
agar dapat wusul (sampai) dan makrifat (mengenal)
Allah. Mereka mempraktikkan al-faqru dengan gaya hidup yang
benar-benar jauh dari kemewahan dan kemegahan dunia.
Mereka
memilih jalan hidup yang penuh penderitaan, kesedihan, cobaan dan kemiskinan.
Sebagai
contoh Imam Ghazali dalam kitab karangannya Ihya Ulumiddin,
memaparkan keunggulan dan keutamaan al-faqru sampai
berpuluh-puluh halaman tetapi dalam memaparkan keutamaan harta dan kekayaan
hanya sedikit dan sekilas.