Media Informasi dan Komunikasi Pengamal Thoriiqoh Qoodiriyyah Naqsyabandiyyah PonPes Suryalaya ,Tasikmalaya Jawa Barat.
Sekretariat: Majlis Dzikir Musholla Al Mubarok,Kavling Serpong Rt02/04,Serpong Tangerang Selatan, Banten

Minggu, 16 Februari 2014

Dibalik Nama-Nya
Bersama : Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah Ar Rabbani
( Guru Besar Tasawuf  Islamic Centre Indonesia )

Tuhan merupakan kata yang mewakili kekuasaan yang Maha tak terbatas, tidak satupun kekuatan dan kekuasaan yang diluar kendaliNya. Ketika kita telah menyatakan TIADA TUHAN SELAIN ALLAH, maka Allah telah menjadi Nama yang kita yakini sebagai satu-satunya Tuhan di dunia, selainNya adalah abdi atau hamba.
Saudaraku, sejauh manakah kita dapat menjadikan kata,”Allah,” tersebut mewakili rasa dan perasaan akan kenyataan ke-TuhananNya. Tidak jarang diantara kita yang menyebut,” Allah,” sekedar sebatas nama, tanpa merasakan apapun dibalik nama tersebut. Padahal amat penting bagi kita untuk memahami Kebesaran dan Keagungan Allah SWT dalam setiap penyebutanNya.
Seseorang yang menyebut SBY saja, maka akan terbayang bagi dia segala pangkat dan jabatannya sebagai Presiden Republik ini. Sungguh kerdil diri kita, yang menyebut,” Allah SWT,” tanpa sedikitpun bergetar hati dengan rasa akan segala UNLIMITED POWER-Nya. Nama bukan saja mewakili identitas diri, tapi juga mewakili sebuah kepemilikan dan kekuasaan atas sesuatu yang dimiliki dari sesosok yang bernama tersebut.
Saudaraku, ketika pedang Datsur menempel dileher Baginda Rasulullah SAW, beliau ditanya,” Siapakah yang sanggup pada hari ini menolong engkau ya Muhammad..,” Baginda dengan tegas menjawab,” Allah..!,”.Pedang terjatuh, kedua kaki dan hatinya Datsur tersungkur dalam kalimah syahadat. Inilah gambaran yang luar biasa dari implementasi rasa hati Baginda Rasulullah SAW terhadap kebesaran dan keagungan Tuhan dalam nama,” Allah ,”

Rabu, 05 Februari 2014

Top of Form
Kisah ini, menunjukkan betapa mendalam dan besar kecintaan sahabat pada Nabi, juga bagaimana rasa rindu yang sangat menyayat hati mereka. Bahkan, sebenarnya sebab wafatnya Abu Bakar ash Shiddiq adalah karena terbunuh oleh rindu pada Nabi yang membakar hatinya (sebagian riwayat menyatakan, nafas beliau berbau seperti daging yang dipanggang).

Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandangakan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas.
Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi.
Hingga Nabi menemui Allah Ta’ala pada awal 11 Hijrah. Setelah itupun Bilal menyatakan diri tak mau mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata, “Biarkan aku jadi mu’adzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan mu’addzin siapa-siapa lagi.”
Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya, “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?” Abu Bakar terdiam.