KH Muslih Abdurrahman Mranggen
Bagi kaum thariqah di Indonesia, khususnya pengikut
Thariqah Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), nama KH Muslih Abdurrahman
Mranggen tentu sudah sangat masyhur. Keberadaannya sebagai salah seorang
mursyid TQN, yang sekaligus aktif dalam mengembangkan dan membesarkan Jam'iyah
Ahlit Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (Jatman) hingga akhir hayat pada
tahun 1981, membuat muridnya menyebut Kiai Muslih sebagai Abul Masyayekh dan
Syeikhul Mursyidin.
Tak hanya itu, Kiai Muslih berjasa pula dalam
mengusir penjajah Belanda dan Jepang, baik sebagai anggota laskar Hizbullah
yang berlatih kemiliteran bersama Syeikh KH Abdulloh Abbas Buntet Cirebon dalam
satu regu di Bekasi Jawa Barat, maupun ketika bergabung dengan komando pasukan
Sabilillah yang beranggotakan para kiai/ulama di wilayah Demak selatan atau front
Semarang wilayah Tenggara.
Kiai Muslih dilahirkan di Suburan Mranggen Demak,
pada tahun 1908, dari pasangan Syekh KH Muslih bin Syeikh KH Abdurrohman dan
Hj. Shofiyyah. Dari jalur ayah, silsilah kiai Muslih sampai kepada Syeikh
Al-Jali atau Syeikh Al-Khowaji yang berasal dari Baghdad keturunan Sayyidina
Abbas r.a, paman Nabi Muhammad saw. Sedangkan ibunya masih keturunan dari Sunan
Ampel.
Sejak kecil Muslih sudah gemar ngaji.
Tercatat, ia pernah berguru mulai dari ayahnya, Syekh KHAbdurrahman bin Qosidil
Haq, hingga kepada para Masyayikh yang ada di Haromain, diantaranya Syeikh
Yasin Al-Fadani Al- Makky. Kiai Muslih juga pernah menimba ilmu kepada Syeikh
KH Ibrohim Yahya (Mranggen); KH Zuber, Syeikh Imam, Syeikh Imam, dan KH Maksum
(Rembang); dan Syeikh Abdul Latif Al- Bantani. Selain itu, Kiai Muslih juga
pernah belajar di Pesantren Termas Pacitan.
Dari hasil pendidikannya tersebut Kiai Muslih
mendapatkan banyak ilmu seperti ilmu kalam Bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir,
hadist, Ilmu Tasawwuf dan berbagai ilmu lainnya.
Membesarkan Pesantren Futuhiyyah
Pondok Pesantren Futuhiyyah yang diasuh ayahnya
mengalami rehabilitasi pada tahun 1927 M. Saat itu sudah ada puluhan santri
yang ikut ngaji, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi
terhenti, setelah diminta oleh NU cabang Mranggen.
Selang beberapa waktu, Syekh KH Muslih berusaha
mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di komplek Pesantren
Futuhiyyah. Kali ini ia mengambil sikap, jika NU ingin mengelola Madrasah lagi
supaya mendirikan sendiri. Keputusan tersebut diambil karena, dua kali
Futuhiyyah mendirikan Madrasah, yakni pada tahun 1927 dan 1929 M, dua kali pula
diminta oleh NU Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, yakni murid dan
gurunya dipindah tempat, yang kemudian dikelola oleh NU Cabang Mranggen. Hal
tersebut menjadikan aktivitas di Futuhiyyah menjadi sedikit terkendala.
Setelah madrasah baru yang didirikan oleh Kiai Muslih
berjalan lancar, satu tahun kemudian beliau kembali mondok ke Termas dan
pengelolaan madrasah diserahkan kepada adiknya, KH Murodi, yang baru
pulang mondok dari Lasem. NU Cabang Mranggen, akhirnya juga
dapat mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat bertahan hingga
sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.
Kiai Muslih saat datang di Termas, langsung diminta
oleh KH Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu,
untuk mengajar kelas Alfiyyah. Semula Kiai Muslih menolak, dengan alasan belum
mampu mengajar Alfiyyah. Namun setelah dibujuk gurunya, dia pun bersedia. Di
Termas pula, Kiai Muslih belajar bagaimana cara mengajar yang baik dan
bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal
(madrasah).
Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman
selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah, pada tahun 1935 M
Kiai Muslih pulang dan bermukim kembali di Suburan Mranggen. Dengan tekad untuk
mengembangkan Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Pada tahun 1936 M
berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah. Madarasah tersebut terus berkembang dan
bertahan sampai sekarang.
Ada hal yang menarik pada saat proses penerimaan
siswa baru. Pada saat itu meskipun belum ada radio, tidak ada stensil, tidak
ada pula mesin tulis apalagi fotocopy, namun info tentang madrasah di Mranggen
berkembang luas. Banyak sekali calon santri, baik yang berasal dari desa-desa
wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, berdatangan.
Hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah
muncul seorang tokoh kiai yang alim, siapa lagi kalau bukan Kiai Muslih
Abdurrahman. (Ajie Najmuddin)
Sumber: http://www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar