Jangan Berburu Karamah
Rabi’ah
al-Adawiyah (717-801 M) adalah seorang sufi perempuan legendaris. Beliau
masyhur dengan cintanya yang membara kepada Allah. Sayyidah Rabi’ah hidup di
Basrah, Irak dan menjadi salah seorang murid Syaikh Hasan al-Basri, seorang
tokoh Sufi terkemuka generasi awal.
Dikisahkan,
suatu hari Sayyidah Rabi’ah melintas di depan rumah gurunya Syaikh Hasan.
Kepala Syaikh Hasan menjulur keluar jendela. Beliau sedang menangis. Air
matanya jatuh menetes di baju Sayyidah Rabi’ah dan beliau pun melihat ke atas.
Semula beliau mengira itu air hujan. Kemudian sadar bahwa itu air mata Syaikh
Hasan. Sayyidah Rabi’ah pun menyapanya:
“Guru,
tangisan itu adalah tanda kelemahan ruhani. Simpanlah air mata Anda, agar
lautan bergelora dalam diri anda, yang di dalamnya hati Anda selalu sadar akan
pemeliharaan Raja yang Maha Kuasa.”
Kata-kata
ini terasa menusuk di hati sang guru, tapi beliau tetap berusaha tenang.
Beberapa
hari kemudian, Syaikh Hasan melihat murid perempuannya itu di pinggir sebuah
danau. Beliau pun lantas menghamparkan sajadahnya di permukaan air danau, lalu
memanggil, “Rabi’ah, kemarilah! Mari kita shalat dua rakaat di sini!”
“Syaikh,”
sahut Rabi’ah, “Kalau anda mau memamerkan kemampuan spiritual di pasar dunia
ini, pamerkanlah sesuatu yang tidak mampu ditiru orang lain.”
Sayyidah
Rabi’ah kemudian menghamparkan sajadahnya di udara dan terbang di atasnya.
“Ayo.
Naiklah kemari Syaikh. Agar orang-orang dapat melihat kita!”
pekiknya. Syaikh Hasan, yang belum mencapai maqam itu pun
terdiam. Sayyidah Rabi’ah pun menghampirinya berusaha menghibur.
“Guru,”
katanya, “Apa yang Anda lakukan juga dapat dilakukan seekor ikan. Dan apa yang
aku lakukan juga mampu dilakukan seekor lalat. Itu semua bukan urusan hakiki.
Kita harus fokus mengurusi hal yang hakiki.”
Hikmah
Orang
yang menempuh perjalanan ruhani, berkat kesungguhannya, akan dianugerahi Allah
karamah, kemampuan ruhani yang melampaui batas-batas kewajaran. Menurut Imam
Abu Ishaq al-Asfarayani mengatakan, karamah adalah sinyal atau pertanda
kebenaran tingkat ruhani seorang salik. Pada tingkat yang lebih tinggi,
kemampuan ruhani ini dianugerahi Allah kepada para rasul yang disebut mu’jizat,
sebagai tanda kebenaran risalahnya.
Tetapi
bagi para salik sendiri, karomah sesungguhnya adalah cobaan, seperti halnya
anugerah-anugerah Allah yang lain, baik yang menyenangkan seperti kekayaan,
jabatan tinggi, kecantikan/ketampanan dan popularitas, maupun yang
menyengsarakan seperti kemiskinan, musibah dan kebangkrutan. Allah
SWT berfirman dalam QS Al-Anbiya: 35, “Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
kamilah kamu dikembalikan.”
Apakah
karamah itu menjadikannya lebih fokus kepada Allah atau sebaliknya berbalik
melihat diri sendiri; apakah karamah itu membuatnya semakin merasa rendah,
hina, lemah di hadapan Allah atau sebaliknya membuatnya merasa tinggi, mulia di
hadapan-Nya.
Bagi
mereka yang menganggap karamah itu sebagai ujian, mereka akan menjaga fokusnya
kepada Allah. Mereka senantiasa menyadari posisi dirinya sebagai hamba yang
faqir dan dapat menempatkan dirinya di hadapan Allah, Tuhan jagat raya. Mereka
akan bersikap dengan benar sebagaimana dinasehatkan Imam Abu Bakr ibn Fauraq,
seorang salik yang telah dianugerahi karamah, wajib menutupinya dan
merahasiakannya dari orang lain.
Bagi
mereka yang menganggap karamah itu sebagai prestasi, mereka akan merasa cukup
dengan capaiannya itu. Fokus jiwanya telah membuyar, tidak lagi kepada Allah
semata, tetapi juga pada dirinya sendiri. Mereka mulai lupa diri di hadapan
Allah. Mereka telah kehilangan kefâqirannya. Ujub atau kebanggaan diri mulai
bersemi kembali. Mereka menjadi salah tingkah. Apa yang seharusnya ditutupi mereka
buka. Apa yang seharusnya dirahasiakan mereka beritakan kepada sesama manusia.
Karomah
adalah tanda. Tak lebih dari itu. Setiap tanda selalu menandai sesuatu. Sesuatu
itulah yang hakiki. Jangan tertipu dengan tanda, tetaplah fokus pada yang
hakiki. Barangkali, itulah yang dimaksud Sayyidah Rabi’ah dalam kata-katanya,
“Itu semua bukan urusan hakiki. Kita harus fokus mengurusi hal yang hakiki”.
Ibarat mendaki sebuah gunung, karamah hanyalah pos-pos yang menandai bahwa kita
telah menempuh ketinggian tertentu. Puncak pendakian ruhani seorang salik
adalah Allah. Hanya Allah.
Waspadalah
pada diri kita sendiri!
“Jadilah
engkau pemilik istiqamah. Janganlah menjadi pemburu karomah. Sesungguhnya,
dirimu sendirilah yang mencari karamah. Padahal Allah hanya menyuruhmu untuk
istiqamah.” Syaikh Abu ‘Alî al-Jaujazai. (Ccp)
Sumber:
http://www.tqnnews.com/2015/09/jangan-berburu-karamah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar