KEUTAMAAN IBADAH SUNNAH
Oleh : KH. M. Zein ZA Bazul Asyhab
Hidmah
ilmiah manakib di Masjid Nurul Asror PonTren Suryalaya Des 2002
Pada
hari ini manakiban kita bertepatan dengan bulan Sya’ban, oleh orang sunda
disebut bulan Rewah. Entah darimana asalnya, mungkin dari ruh atau arwah,
karena ada keterangan yang mengatakan bahwa pada bulan Rajab, Rewah, dan
Ramadhan itu adalah tiga serangkai., sedangkan bulan Sya’ban adalah untuk
pensucian ruh. Salah satu ibadah sunnah yang kita lakukan di bulan Sya’ban
adalah Shalat Sunnah Nisfu Sya’ban. Ini pekerjaan sunnah, jadi orang yang
melaksana-kannya, karena hukumnya sunnah jelas mendapat pahala dan kalaupun
tidah melaksanakannya tidak akan mendapat siksa.
Manakala membahas sunnah kita sering keliru, kita terjebak dengan kata-kata tidak mendapat siksa, hingga memberi kesan bahwa orang tidak akan masuk neraka dengan meninggalkan sunnah. Maka marilah kita berilustrasi dengan contohsebagai berukut : Pada hari kiamat si A amalnya ditimbang, amal baik seratus kilo dan amal buruk seratus kilo, menurut kaidah bahwa, siapa yang amal baiknya lebih berat daripada amal buruknya maka ia masuk surga, dan barangsiapa yang amal buruknya lebih berat daripada amal baiknya maka ia masuk neraka. Jika amal si A tadi sama beratnya maka ke surga tidak pantas, ke neraka tidak mungkin, jadi belum bisa diputuskan. Lalu datanglah malaikat membawa amal si A sedikit,amal yang buruk seberat
Bulan Sya’ban, kita semua diberi petunjuk oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani atas dasar petunjuk Rasul yang Haditsnya dicatat dalam kitab Al-Ghoniyatutholibilhaq, menjelaskan tentang Sholat Nisfu yang oleh banyak ulama di dunia termasuk di negeri ini justru itu disebut Sholat Bid’atun Munkarotun bahkan masuk neraka, karena yang sudah membudaya adalah shalat cukup dua rakaat dan baca surat Yasin tiga kali. Kalau soal shalat Nisfu Sya’ban dalam satu kitab dinyatakan begini dan di kitab lain dinyatakan begitu sebabnya adalah pengkajian para pengarang juga berbeda-beda, dan tidak semua hadits tercatat. Banyak orang yang mengatakan bahwa itu tidak ada dalam haditsnya, padahal baru baca satu kitab. Setelah Rasul wafat banyak yang menuliskan hadits, jadi jangan mengatakan tidak ada dalam haditsnya, katakanlah kita belum menemukan hadits itu.
Selain itu ada juga yang mengatakan Bid’ah dari segi nama, sebenarnya tidak ada aturan tetap tentang nama shalat sunnah, kalau shalat wajib memang ada, shalat Dzuhur karena terang benderang matahari, shalat Ashar artinya bayangan telah sama dengan patoknya, shalat Maghrib artinya telah tenggelam matahari, Isya artinya awal malam ketika terbenam mega merah dan Shalat Subuh artinya adalah keluar fajar. Itu tidak bisa diubah-ubah kalau shalat sunnah jangankan yang ada haditsnya dalam seluruh kitab atau sebagian kitab membuat nama sendiri juga boleh, asalkan bertanggung jawab dan mempunyai dasar yang jelas. Sedangkan rujukan ayatnya adalah : “Wasta’inu bisobri wassholah”, (mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat).
Mudah-mudahan kita semua diberi umur sampai pertengahan Sya’ban, hingga kita semua dapat melaksanakan ibadah sunnah yaitu Shalat Nisfu Sya’ban.
Sumber :www.suryalaya .org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar